Rabu, 24 April 2013
MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM KELOMPOK 6
MAKALAH
EPISTEMOLOGI KEILMUAN ISLAM
Dipresentasikan
dalam Mata Kuliah
Pengantar Studi Islam
Yang
diampu oleh : M. Rikza
Chamami, MSI
Disusun Oleh :
1. Puspa Wijaya Wati (093311032)
2.
Nur
Fadhilah (123911081)
3.
Sintia
Ayu Rahmawati (123911101)
4. Vicky Sofi Kharisma (123911113)
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
TAHUN 2013
EPISTEMOLOGI KEILMUAN ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Menurut pemakaian umum, epistemologi dapat
diartikan atau didefinisikan sebagai mempelajari asal usul, atau sumber atau
struktur, metode dan validitas (sahnya) pengetahuan.
Model berpikir rasional berpendapat bahwa menemukan kebenaran dan sekaligus
menjadi tolak ukur dengan menggunakan akal secara logis. Maka
benar atau tidaknya sesuatu diukur dengan rasionalitas akal. Dengan demikian
dapat disebut obyek kajian epistemologi rasional adalah hah-hal yang
bersifat abstrak dan logis. Upaya rekonstruksi filsafat Islam
perlu mendapatkan
perhatian lebih. Namun sekedar wacana saja sangatlah tidak cukup, perlu
upaya yang lebih real dan kongkrit yang harus terus dilakukan, agar kehadiran dan perkembangan filsafat Islam
semakin terasa.
Setidaknya ada 2 upaya yang perlu dilakukan yaitu
membangun tradisi ilmiah Islam dan mengkonstruksi kembali bangunan epistemologi
keilmuan dalam Islam, yang akhir-akhir ini banyak terjadi kesimpang siuran dan
ketidakjelasan yang dapat ditemukan dalam satu bidang ini.
Dalam dunia pemikiran, epistemologi
menempati posisi penting, sebab menentukan corak pemikiran dan pernyataan
kebenaran yang di hasilkannya. Bangunan
dasar epistemologi berbeda dari satu
peradaban dengan yang lain. Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang sangat besar pengaruhnya dalam
konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Oleh karena itu, perlu
pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas.
II.
PERMASALAHAN
A.
Pengertian Epistemologi Keilmuan Islam
B.
Model Pemikiran Epistemologi Keilmuan Islam
1.
Model Berpikir Bayani
2.
Model Berpikir Burhani
3.
Model Berpikir Irfani
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistemologi Keilmuan Islam
Secara bahasa, kata epistemologi berasal dari bahasa
Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan,
sedangkan logos berarti teori, uraian, atau alasan. Maka berdasar
bahasa, epistemologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan atau theory of
knowledge.[1]
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan, membahas secara
mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu
yang dinamakan metode keilmuan.
Epistemologi meliputi sumber, sarana dan tatacara
menggunakan sarana untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Menurut Prof. Kunto,
akal (verstand), akal budi (vernun) pengalaman, atau kombinasi
antara akal dan pengalaman, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi
seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme, fenomenologi dengan
berbagai variasinya.
Adapun sumber-sumber ilmu pengetahuan adalah (1) panca
indera yang telah menghasilkan pengetahuan, di mana hakikat pengetahuan ini
adalah “a phenomena or a show of the object known”, (2) rasio atau
verstand, suatu konsep atau pengertian dari objek yang ingin diketahui, maka pengetahuan
di sini sama dengan kognisi, (3) otoritas atau kekuasaan, dan (4) wahyu, di
mana pengetahuan yang didapatinya tidak lagi berdasarkan penalaran melainkan
kepada keyakinan dan kepercayaan dirinya tentang sesuatu yang diyakini. Dalam
hal ini MM. Syarif membedakan antara pengetahuan intuitif dengan wahyu, intuisi
bisa terdapat pada setiap orang, sedangkan wahyu adalah penegtahuan yang
diberikan Tuhan kepada para Nabi.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara
empiris.[2]
Definisi epistemologi adalah salah satu cabang pokok
bahasa dalam wilayah filsafat yang memperbincangkan seluk beluk “pengetahuan”.
Seperti sudah banyak dikenal, bahwa perbincangan epistemologi tidak dapat
meninggalkan persoalan-persoalan yang terkait dengan sumber ilmu pengetahuan
dan beberapa teori tentang kebenaran.
Istilah epistemologi sendiri pertama kali muncul pada
pertengahan abad XIX oleh J.F. Rarrier dalam bukunya “Institute of Metaphysics”. Persoalan epistemologi tersebut
sebenarnya sudah di mulai dalam pertentangan antara Heraclitus (535-475 SM)
melawan Parmenindes (504-475 SM) yang pada dasarnya merupakan sengketan
fundamental, sebab yanh mereka persoalkan sudah berupa masalah kebenaran
pengetahuan.[3]
Epistemologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, epistemologi
adalah cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.
Epistemologi secara istilah, meminjam penjelasan Dagobert
D. Runes dalam bukunya, Dictionary of Philoshopy, adalah cabang filsafat
yang mnyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode dan validitas
pengetahuan. Pendapat lain dikemukakan oleh D.W Hamlyn yang mendefinisikan
epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya, serta secara umum hal itu
dapat diandalkan sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Dari dua definisi epistemologi ini, maka dapat kita
pahami bahwa epistemologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hal-hal yang
bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari secara substantif.[4]
Oleh karena itu, epistemologi bersangkutan dengan
masalah-masalah sebagai berikut:
1.
Filsafat, yaitu sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat
dan kebenaran pengetahuan.
2.
Metode, memiliki tujuan untuk mengantarkan manusi
mencapai pengetahuan.
3.
Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaran
pengetahuan.[5]
Dalam teori epistemologi terdapat beberapa aliran.
Aliran-aliran tersebut mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia memperoleh
pengetahuan. Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber
pengetahuan yaitu aliran:
1.
Rasionalisme, yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa
sumber pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa.
2.
Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan
manusia berasal dari pengalaman manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang
ditangkap oleh panca inderanya.
3.
Kritisme (transendentalisme), yaitu aliran yang
berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa
atau pikiran manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia
inklusif di dalamnya aliran-aliran:
1.
Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa
pengetahuan manusia adalah gambaran yang baik dan tepat tentang kebenaran.
Dalam pengetahuan yang baik tergambar kebenaran seperti sesungguhnya.
2.
Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa
pengetahuan hanyalah kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kanyataan yang
diketahui manusia semuanya terletak di luar dirinya.[6]
Dengan demikian, pengertian epistemologi keilmuan Islam
adalah merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan yang
menjelaskan tentang keilmuan Islam dan beberapa aspek yang termasuk di dalamnya
yang diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan yang meliputi sumber
dan sarana untuk mencapai ilmu pengetahuan.
B. Model Pemikiran Epistemologi Keilmuan Islam
Dalam kajian epistemologi barat, dikenal ada tiga aliran
pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam
pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga
macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman probadi. Dalam kajian pemikiran
Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori
pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berfikir dalam
Islam, yakni bayani, burhani dan irfani, yang masing-masing mempunyai pandangan
yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.
Metode berfikir dalam paradigma ahkamy yang
terdapat dalam ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu kalam oleh al-Jabari disebut
dalil al-Bayani. Sedangkan metode dalam filsafat Islam yang membahas paradigma
falsafy disebut dengan istilah dalil al-Burhany. Dan metode berfikir yang
membahas paradigma wijdany dalam ilmu tasawuf disebut al-‘irfany. Produk pikir
yang diperoleh oleh masing-masing metode berpikir juga berbeda. Jika dalil
al-Bayani menghasilkan al-‘Ilm al- Tauqify, maka dalil al-Burhani
menghasilkan al-‘Ilm al-Husuli dan dalil ‘irfani menghasilkan al-‘Ilm
al-Hudury.[7]
1.
Model Berpikir
Bayani
Secara bahasa, bayani bermakna sebagai penjelasan,
pernyataan, ketetapan.[8]
Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada
nash, ijma’, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan epistemologi, maka
pengertiannya adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang
menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran mutlak. Adapun akal hanya
menempati tingkat sekunder dan bertugas hanya untuk menjelaskan teks yang ada.
Ditinjau dari perspektif sejarah, bayani sebetulnya sudah
dimulai sejak pada masa awal Islam. Hanya saja pada masa awal ini, yang disebut
dengan bayani belum merupakan sebuah upaya ilmiah dalam arti identifikasi
keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teks-teksnya, tetapi baru sekedar
upaya penyebaran tradisi bayani saja.
Dalam tradisi keilmuan Islam, corak bayani sangat
dominan. Dengan segala karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak
yang sempurna. Salah satu kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu
keagamaan yang bersifat konstektual. Padahal, jika ingin mengembangkan pola
berfikir bayani, maka mau tidak mau harus menghubungkan dengan pola berfikir irfani
dan burhani. Jika masing-masing tetap kokoh pada pendiriannya dan tidak mau
membuka diri, berdialog, dan saling melengkapi satu sama lain, sulit rasanya
studi Islam dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman mampu menjawab tantangan
kontemporer yang terus berkembang tiada henti.
Dalam tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada
teks (wahyu). Sementara akal menempati posisi sekunder. Tugas akal dalam
konteks epistemologi bayani adalah menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara
bagaimana bagaimana implementasi ajaran teks tersebut dalam kehidupan konkret
berada di luar kalkulasi epistemologi ini.[9]
Epitemologi
Bayâni adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Maka sumber epistemologi bayani
adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan secara umum
menjadi dua, yakni:
a.
Teks nash ( Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW)
b.
Teks non nash berupa karya para ulama
Obyek kajian yang umum dengan pendekatan bayani adalah :
a.
Gramatika dan sastra (nahwu dan balagah)
b.
Hukum dan teori hukum (fiqh dan ushul fiqh)
c.
Filologi
d.
Teologi, dan
e.
Dalam beberapa kasus di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadist.[10]
Corak berfikir yang diterapkan dalam epistemologi bayani
ini cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content).
Sejak dari awal, pola pikir bayani lebih mendahulukan qiyas
dan bukam mantiq lewat silogisme dan premis-premis logika. Epistemologi
tekstual-lughawiyah lebih diutamakan daripada epistemologi kontekstual-bahtsiyyah
maupun spiritualitas-irfaniyyah-batiniyyah. Di samping itu, nalar
epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan
menjauhi kebenaran tekstual. Sampai-sampai muncul kesimpulan bahwa wilayah
kerja akal pikiran perlu untuk dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan
menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan
akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.
Sistem epistemologi bayani ini menghasilkan suatu pakem
kombinatif untuk menafsirkan wacana dan menentukan sarat-sarat produksi wacana.
Konsep dasar sistem ini menggabungkan metode fiqh seperti yang dikembangkan
oleh asy-Syafi’i, dengan metode retorika seperti yang dikembangkan oleh
al-Jahiz. Sistem ini berpusat pada hubungan antara ungkapan dan makna.
Hasil akhirnya adalah sebuah teori pengetahuan yang dalam
setiap levelnya bersifat bayani. Dalam logika internalnya, teori pengetahuan
(epistemologi) ditentukan oleh konsep bayani yang termasuk gaya bahasa puitik,
ungkapan oral, pemahaman, komunikasi, dan penangkapan secara penuh. Hal yang
sama juga terdapat dalam ranah materi pengetahuan, yang terutama disusun dari
al-Qur’an, hadits, tata bahasa, fiqh, serta prosa dan puisi Arab. Begitu juga
dengan ranah ideologi, karena kekuatan otoritatif yang menetukan, yaitu dogma
Islam, ada di belakang ranah ini. Oleh karena itu, sejak awal ada batasan atau
larangan tertentu untuk menyamakan pengetahuan dengan keimanan kepada Tuhan.
Sistem ini juga diterapkan dalam ranah epistemologi, di mana manusia dipahami
sebagai makhluk yang diberkati kapasitas bayan dengan dua tipe “nalar”; pertama
dalam bentuk bakat, dan yang lain adalah hasil pembelajaran.
Al-Jabiri menjelaskan bahwa sistem bayani
dibangun oleh dua prinsip dasar. Pertama, prinsip diskontinyuitas atau
keterpisahan, dan kedua, prinsip kontingensi atau kemungkinan. Prinsip-prinsip
tersebut termanifestasi dalam teori substansi individu yang mempertahankan
bahwa hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan, sensasi dan apapun
yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang
kebetulan saja, tapi tidak memengaruhi dan berinteraksi. Teori ini sesungguhnya
menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.[11]
2.
Model Berpikir
Burhani
Kata burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan yang
berarti argumentasi yang kuat dan jelas. Sedangkan kata yang memiliki makna
sama dengan al-burhan dalam
bahasa Inggris adalah demonstration. Arti dari kata demonstration adalah
berfikir sesuai dengan alur tertentu atau penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, pengetahuan demonstratif merupakan pengetahuan yang
integratif, sistemik, dan sistematis. Ciri daripada pengetahuan demonstratif
ada tiga. Pertama, pokok bahasannya jelas dan pasti. Kedua,
universal dan tidak partikular. Ketiga, memiliki peristilahan teknis
tertentu.
Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah
aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara
konklusi atau deduksi. Sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua
aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi.[12]
Istilah burhani juga dipakai dalam pengertian yang cukup beragam. Beberapa di
antaranya; (1) cara atau jenis argumentasi; (2) argumen itu sendiri; (3) bukti
yang terlihat dari suatu argumen yang menyakinkan.
Dalam bahasa lain, metode burhani atau demonstratif
merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang
menghasilkan konklusi yang bernilai. Metode burhani atau demonstratif ini
berasal dari filosof terkenal Yunani, yaitu Aristetoles. Apa yang dimaksudkan
oleh Aristetoles dengan metode demonstratif ini adalah silogisme ilmiah, yaitu
silogisme yang apabila seseorang memilikinya, maka orang tersebut akan memiliki
pengetahuan. Menurut Aristetoles, silogisme merupakan seperangkat metode berfikir
yang dengan silogisme tersebut, seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru
yang diperolehnya dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau
metode penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan
dari suatu pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan
keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.
Tidak semua silogisme dapat disebut denga burhani atau
demonstratif. Sebuah silogisme baru dikatakan sebagai demonstratif apabila
premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan didasarkan pada
kebenaran yang telah teruji atau didasarkan kepada kebenaran utama. Ditinjau
dari perspektif metodologi, burhani menggunakan logika (al-maqayis)
sebagai metodologi.[13]
Sementara dalam pandangan filosof al-Farabi, metode al-burhaniyah
(demonstrasi) merupakan metodologi yang super canggih dibandingkan dengan
metodologi-metodologi lainnya, seperti metodologi dialektika (jadaliyah),
dan metodologi retorika (khatabbiyah). Jika metode retorika dan
dialektika dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum, hal ini tidak berlaku bagi
metode burhani. Burhani hanya mampu dikonsumsi oleh orang-orang tertentu.
Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-‘Ilm
al-Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan hanya
melalui premis-premis logika. Metode burhani ini biasa digunakan dan dijumpai
dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif mengandalkan deduksi rasional
dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi.
Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Berbeda dengan epistemologi bayani, epistemologi burhani
menempatkan akal dalam otoritas kebenaran. Jika dalam epistemologi bayani
setiap proses pemikiran pasti berangkat dari teks menuju makna, pada
epistemologi burhani justru sebaliknya, yaitu makna lebih dulu lahir dari
kata-kata.[14]
Maksud epistemologi Burhani adalah, bahwa
untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen
kemampuan alamiyah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu
suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani
adalah realitas dan empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya ilmu
diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di
laboratorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat sosial maupun alam. Corak
berfikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil
penelitian empiris.[15]
3.
Model Berpikir
Irfani
‘Irfan dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang
diartikan dengan al-‘ilm. Di kalangan sufi, kata ‘irfan dipergunakan
untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan ke dalam qalb
dengan cara kasyf atau ilham. Di kalangan kaum sufi sendiri,
ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan atas
wahyu atau petunjuk Tuhan.
Dalam konteks pemaknaan terhadap ma’rifah, klasifikasi
pengetahuan yang dilakukan oleh Dzu al-Nun al-Mishri menempatkan ma’rifah
sebagai salah satu jenis pengetahuan khusus di kalangan sufi. Pengetahuan jenis
ini, dalam pandangan Dzu al-Nun, yang disebut pengetahuan hakiki. Dzu al-Nun
membagi pengetahuan kepada tiga jenis yakni; (1) pengetahuan orang awam yang
menyatakan bahwa Tuhan itu Esa dengan perantaraan ucapan syahadat, (2)
pengetahuan ulama yang menyatakan bahwa Tuhan itu Esa menurut logika akal, dan
(3) pengetahuan para sufi yang menyatakan bahwa Tuhan itu Esa dengan
perantaraan hati nurani. Pengetahuan jenis pertama dan kedua baru tahap ilmu,
sedangkan pengetahuan ketiga adalah pengetahuan hakiki, yaitu ma’rifat.[16]
Irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ilham).
Dari irfani muncul illuminasi. Prosedur penelitian irfaniah berdasarkan
literatur tasawuf, secara garis besar langkah-langkah penelitian irfaniah
sebagai berikut:
a.
Takhliyah : pada tahap ini, peneliti mengkosongkan (tajarrud)
perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatian kepada (tawjih).
b.
Tahliyah : pada tahap ini, peneliti memperbanyak amal sholeh dan
melazimkan hubungan dengan al-Khaliq lewat ritus-ritus tertentu.
c.
Tahliyah : pada tahap ini, peneliti menemukan jawaban batiniah
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Paradigma irfaniyah juga mengenal teknik-teknik yang
khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniyah :
a.
Riyadah : rangkaian latihan dan ritus dengan penahapan dan
prosedur tertentu.
b.
Tariqah : di sini diartikan sebagai kehidupan jama’ah yang
mengikuti aliran tasawuf yang sama.
c.
Ijazah : dalam penelitian irfaniah, kehadiran guru sangat
penting. Guru membimbing murid dari tahap yang satu ke tahap yang lain. Pada
tahap tertentu, guru memberikan wewenang (ijazah) kepada murid.[17]
Epistemologi ‘irfani diharapkan menjembatani sekaligus
menghindari kekakuan (rigiditas) dalam berfikir keagamaan yang menggunakan teks
sebagai sumber utamanya. Dengan peran dan fungsinya, epistemologi ‘irfani dalam
pemikiran Islam menjadi mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam.
Memang, perpaduan antara “teks” dengan “akal” ternyata tidak selamanya berjalan
baik den sesuai harapan. Dalam kondisi ini, perpaduan ini ternyata juga membawa
dampak yang kurang produktif, baik berupa ketegangan, konflik, dan bahkan dalam
batas-batas tertentu dalam bentuk kekerasan.
Berbeda dengan kedua epistemologi sebelumnya, sumber
epistemologi ‘irfani adalah intuisi. Karena menggunakan intuisi ini, maka
status keabsahannya acapkali digugat, baik oleh tradisi bayani maupun burhani.
Epistemologi mempertanyakan keabsahannya karena dianggap tidak mengindahkan
pedoman-pedoman yang diberikan teks. Sementara epistemologi burhani
mempertanyakan keabsahannya karena dianggap tidak mengikuti aturan dan analisa
logika.
Sumber terpokok epistemologi ‘irfani adalah pengalaman (eksperince).
Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik merupakan pelajaran yang tidak
ternilai harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup
mengagumkan, dalam lubuk hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui adanya
Dzat Yang Maha Suci dan Maha segalanya. Untuk mengetahui Dzat Yang Maha
tersebut, manusia tidak perlu menunggu turunnya teks..
Validitas kebenaran ‘irfani hanya dapat dirasakan dan
dihayati secara langsung oleh intuisi dan al-dhauq. Sekat-sekat
formalitas lahiriah yang diciptakan tradisi bayani maupun burhani, baik dalam
bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit, golongan, kultur, dan tradisi, yang
ikut andil merenggangkan hubungan interpersonal antar umat manusia, hendak
dipinggirkan oleh tradisi berfikir orisinal ‘irfani.
Ditinjau dari sisi metode, ‘irfani yang dikembangkan
terutama oleh kalangan sufi ini menggunakan metode penegtahuan illuminasi (kasyf).
Kasyf adalah uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman yang
tersingkap bagi seseorang, seakan ia melihat dengan mata telanjang. Selain itu,
kasyf juga diartikan sebagai
penyingkapan atau wahyu. Ia merupakan jenis pengalaman langsung yang lewat
pengalaman tersebut, pengetahuan tentang hakiki diungkapkan pada hati sang
hamba dan pecinta.[18]
IV.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, kami dapat menarik
kesimpulan bahwa:
1. Pengertian epistemologi keilmuan Islam adalah
merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan yang menjelaskan
tentang keilmuan Islam dan beberapa aspek yang termasuk di dalamnya yang
diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan yang meliputi sumber dan
sarana untuk mencapai ilmu pengetahuan.
2. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat beberapa
aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi) yaitu ada
tiga model sistem berfikir dalam Islam, yakni bayani, burhani dan irfani.
a.
Model berfikir Islam Bayani bersumber pada teks, baik
nash maupun non-nash.
b.
Model berfikir Islam Burhani bersumber pada akal dan
empirikal.
c.
Model berfikir Islam Irfani bersumber pada kasf.
Setiap epistemologi, termasuk di dalamnya
‘irfani, memiliki kelebihan dan kelemahan. Tidak ada di antara ketiga
epistemologi keilmuan Islam tersebut yang sempurna. Eksistensi ketiganya justru
saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, hal yang bijak bukanlah
menafikan eksistensi peran masing-masing, tetapi bagaimana masing-masing
epistemologi tersebut menjalankan perannya yang tepat dan saling melengkapi
satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan
Metedologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pres
Junaedi, Mahfud. 2010. Ilmu Pendidikan
Islam: Filsafat dan Pengembangan. Semarang: RaSAIL Media Group
Kadir, Muslim A. 2003. Ilmu Islam Terapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Progresif
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam.
Yogyakarta: TERAS
Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta:
ACAdeMIA+ TAZZAFA.
Syukur, Suparman. 2007. Epistermologi Islam
Skolastik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
BIODATA PEMAKALAH
1.
Nama :
Nur Fadhilah
NIM :
123911081
Jurusan/Prodi :
Tarbiyah/ PGMI 2C
TTL :
Demak, 19 Juli 1993
Tempat Tugas :
Perpustakaan Fakultas Tarbiyah
Pendidikan
SD :
SD N 03 Kalikondang-SD N 05 Mendawai
SMP :
MTs N Pangkalan Bun
SMA :
MAN Pangkalan Bun
S1 :
IAIN Walisongo Semarang
Alamat :
Demak
Nomor HP :
085752396533
Email :
nur_fadhilah93@yahoo.co.id
2.
Nama :
Vicky Sofi Kharisma
NIM :
123911113
Jurusan/Prodi :
Tarbiyah/ PGMI 2C
TTL :
Jepara, 02 Januari 1995
Tempat Tugas :
Perpustakaan Fakultas Tarbiyah
Pendidikan
SD :
MI 01 Pakis Aji
SMP :
MTs N Bawu Jepara
SMA :
SMA N 01 Tahunan
S1 :
IAIN Walisongo Semarang
Alamat :
Pakis Aji Jepara
Nomor HP :085225506406
3.
Nama :
Puspa Wijaya Wati
NIM :
093311032
Jurusan/Prodi :
Tarbiyah/ KI
TTL :
Pemalang, 13 Januari 1991
Tempat Tugas :
-
Pendidikan
SD :
SD N 02 Pelutan Pemalang
SMP :
SMP Plus “Salafiyah” Kauman Pemalang
SMA :
MAN Pemalang
S1 :
IAIN Walisongo Semarang
Alamat :
Sugihwaras Pemalang
Nomor HP :
085641168608
4.
Nama :
Sintia
Ayu Rahmawati
NIM :
123911101
Jurusan/Prodi :
Tarbiyah/ PGMI 2C
TTL :
Grobogan, 20 Januari 1995
Tempat Tugas :
Perpustakaan Fakultas Tarbiyah
Pendidikan
SD :
SD N 04 Jono
SMP :
MTs N Yamida Jono
SMA :
MAN 01 Purwodadi
S1 :
IAIN Walisongo Semarang
Alamat :
Purwodadi
Nomor HP :
085641526124
Email :
Sintia_95@rocketmail.com
[2] Mahfud Junaedi, Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan,
(Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), 9-10
[4]
Ngainun Naim, Op Cit, hlm. 74
[5] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metedologi Pendidikan Islam,
Jakarta: Ciputat Pres, 2002, hlm. 4
[8] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), hlm. 136
[9]
Ngainun Naim, Op Cit, hlm. 78-79
[11]
Ngainun Naim, Op Cit, hlm. 80-81
[16]
Ngainun Naim, Op Cit, hlm. 89
Langganan:
Postingan (Atom)